Judul Cerpen Islami : Cahaya Dalam Barak
Penulis : Hatta Syamsuddin
Pinggiran kota Faluja, sebelah timur kota Baghdad. Segerombolan
mujahidin baru saja merayakan sebuah kemenangan. Pagi itu sebuah pesawat
Bomber B-29 milik Amerika berhasil dijatuhkan. Tidak kurang dari dua puluh
tujuh tentara Amerika meregang nyawa.
Sebuah keberhasilan, buah keikhlasan dalam berjuang. Para mujahidin
itu masih asyik menembak-nembakan Automatic Klansikovnya ke udara.
Beberapa tampak melompat dan bertakbir penuh syukur.
Seorang pemuda yang terlihat asing nampak di tengah-tengah mereka.
Dari sosoknya ia bukan seperti kebanyakan mujahidin yang berasal dari bangsa
Arab sekitar kawasan Teluk.
Benar, dialah Bagus, mantan perwira pertama yang desersi dari
kesatuannya di Angkatan Darat. Kini ia bergabung dalam sebuah pasukan
pembela nurani. Berburu surga di tengah panasnya sahara. Matanya selalu
awas menengadah ke angkasa. Menanti-nanti burung besi Amerika yang
angkuh menerjang bumi jihad Irak.
Wajahnya teguhnya kini lebih khusyuk. Ia ingin segera kembali ke negri
yang dirindukannya. Bukan tanah airnya, tapi negeri yang bertabur bintang di
balik awan. Negri yang akan mempertemukannya kembali dengan Irfan,
sahabatnya semasa SMU dulu.
" Shuff !! mirwahiyah amrikiyah ! ilal hujuum "
“ Tembaaaaaak……. !!! Bunuh mata-mata itu !”, terdengar perintah
untuk menembak.
Sang Tengku terdesak. Hampir-hampir ia tidak berdaya. Serombongan
pemuda yang tadi melindunginya telah berguguran. Sebagian yang lain
bercerai berai. Kini, nyawa Tengku Rifai benar-benar terancam. Serentetan
tembakan benar-benar mulai mendekat ke arahnya.
Tiba-tiba seorang tentara meloncat ke arah Tengku Rifai.
" Tidaaaaaak ! Mundur kalian semuaaaa ! Munduuuuur ….!!! “, Letnan
Bagus tibna-tiba meloncat ke tempat pertahanan Tengku Rifai. Ia mencoba
menahan pasukan yang datang ke arah sosok renta itu. Beberapa kali senapan
otomatisnya di tembakkan ke atas untuk menggertak pasukan yang mencoba
mendekat ke arahnya.
Tret..tete…teeet..teeet…..
Desing peluru masih terdengar. Kali ini bersumber dari dua arah. Letnan
Bagus di satu sisi, dan pasukan berseragam militer dari arah yang lain. Pasukan
menjadi lebih panik. Salah satu ketua regu mereka, Letnan Bagus, berbalik
melindungi Tengku Rifai dan menyerang mereka. Sebagian dari mereka
mundur gentar. Tembakan yang keluar dari senapan Letnan Bagus
menggetarkan hati-hati ciut mereka.
Kesempatan ini tidak di sia-siakan Letnan Bagus. Dibopongnya tubuh
renta Tengku Rifai melompat menuju semak-semak tinggi dibelakang masjid.
Ia terus menembak, mengalihkan perhatian. Sementara langkahnya terus
mundur menjauh.
Tubuh Tengku Rifai lemas tak terkira. Ia hanya pasrah dibopong oleh
Letnan Bagus dan beberapa pemuda yang sempat ikut lari menjauh. Mereka
menyelamatkan diri. Kekuatan sama sekali tidak berimbang.
Dari jauh terdengar teriakan sang komandan,
“ Kejar dan tangkap mereka !! Bunuh bajingan Letnan Bagus, perwira
pengkhianat negara ! Bunuh dia ….kejar terus..jangan sampai lolos penghianat
itu… “
Sayup-sayup terdengar adzan Isya. Rombongan Letnan Bagus, Tengku
Rifai, dan beberapa pemuda masih terus berlari di rerimbunan pohon besar.
Beberapa tikungan dan lembah telah mereka lewati. Namun suara tembakan
dari seberang masih jelas terdengar. Tak ada jalan lain kecuali terus berlari.
Perwira muda itu masih membopong Tengku Rifai. Sejuta lintasan
pikiran berkecamuk dalam benaknya. Ia melakukan sesuatu yang sangat
mustahil dilakukan oleh seorang perwira ! Desersi ! Yah… bukan saja disersi.
Bahkan ia juga menyelamatkan Tengku Rifai, seorang yang oleh pasukannya
dianggap mata-mata dan musuh negara.
Letnan Bagus tahu persis, nyawanya kini sangat terancam. Namun ia
juga yakin, nurani telah menyelamatkannya dari kemunafikan dan kezaliman.
Hati kecilnya sedari dulu tak pernah mau melempar kezaliman, apalagi
terhadap manusia yang tak berdosa seperti Tengku Rifai ? Sudah cukup selama
ini ia membiarkan pasukannya menembaki penduduk tak bersalah.
Tentara muda itu terus melangkah dalam bingung. Kemana ia akan
pergi setelah ini ? Bayang masa depannya kembali menari-nari mengelilingi
benaknya.
*******************
Operasi pembersihan gerombolan separatis bersenjata di ujung barat
pulau Sumatra, masih berlangsung. Panglima Operasi menambah pasukan
tambahan dari pulau Jawa. Bumi serambi Mekah bergolak penuh dendam dan
kebencian. Penduduk bingung tak tahu harus kemana. Serangan yang misterius
setiap saat mengancam jiwa mereka.
Kawasan pinggir kota Pidie sore itu masih sunyi. Tengku Rifai baru saja
selesai mengajar ngaji beberapa pemuda kampungnya. Mereka masih asyik
bercakap bergerombol di didepan meunasah. Jumlah mereka sekitar tiga
puluhan. Berbincang akrab menanti mentari beranjak ke peraduan.
Maghrib hampir menjelang, serombongan berseragam militer bersepatu
tentara datang. Tak ada sapaan pembuka. Yang ada hanya pintu meunasah
yang didobrak paksa dan tendangan sepatu bot yang merajalela.
“ Mana yang namanya Tengku Rifai ! Keluar “, komandan mereka
menyeru kasar.
Tengku Rifai yang berusia lima puluhan, namun cukup renta karena
penyakit dalam yang dideritanya, segera berdiri. Mencoba menyambut lembut
tamu-tamu kasarnya.
“ Saya Tengku Rifai, selamat datang di kampung kami, ada apa
gerangan tuan datang dengan kasar seperti ini ? bukankah kami juga anak
negri ini ? “
“ Kurang ajar ! kau mata-mata gerombolan pengacau , Engkau musuh
negara ! Ikut kami ke markas “
“ Tidak bisa, ini tuduhan yang salah. Saya hanya seorang guru ngaji.
Mana surat penangkapan dari kepolisian ? “, Tengku Rifai mencoba
menjelaskan.
“ sekarang darurat perang ! militerlah yang mempunyai kebijakan disini.
Pasukan !! tangkap segera Bapak ini ..” , teriak sang Komandan memberi
perintah.
Beberapa pemuda mulai bereaksi mendengar guru ngajinya akan
ditangkap.
“ Tunggu…. Langkahi dulu mayat kami sebelum membawa Tengku
Rifai !! “, Seorang pemuda berteriak ke arah sang komandan. Beberapa pemuda
yang lain mulai berhamburan mendekati Tengku Rifai.
Komandan itu mulai panik. Ia mengira akan diserang habis-habisan
oleh puluhan pemuda di depannya. Tapi ia tidak mempunyai alasan untuk
mundur. Empat regu yang dipimpinnya bersenjata lengkap, cukup untuk
menghabisi dan membumi hanguskan tempat itu.
“ Pasukaan… seraaang ! Tembak bagi siapa saja yang melawan !!
Tangkap Tengku Rifai , hidup atau mati ! “, sang komandan mulai memberi
perintah.
Anak buahnya segera menyambut ganas. Rentetan tembakan mulai
bergaungan. Sebagian pemuda bertiarap. Sebagian yang lain segera berusaha
melindungi Tengku Rifai. Mencoba membalas dengan senjata seadanya.
Konflik yang tak seimbangpun tak terelakkan.
Suasana menjadi semakin kacau dan memanas. Telah jatuh korban dari
kedua belah pihak. Sang komandan mulai terdesak panik.
“ Habiskan mereka semua ! Bumi hanguskan daerah ini ! Serbuuu…!!! “
Tret..tet..teet…teet..tet. Bunyi peluru dan teriakan kesakitan saling
bersahutan. Suasana yang gelap menambah suasana mencekam. Darah
bersimbah menemani curahan hujan yang mulai turun deras. Tengku Rifai dan
para pemuda masih terus bertahan. Meski korban dari pihak mereka telah
banyak berguguran.
Seorang tentara berdiri mematung. Ia tak banyak bergerak. Tak ada
peluru keluar dari senapannya. Matanya hanya menerawang berkaca-kaca.
Hatinya bergayut pada rasa yang menahannya untuk menyerang. Sang
Komandan datang menghampiri, bertanya dengan penuh kegusaran.
“ Letnan Bagus, mengapa diam saja ! Cepat habisi mereka , mereka
musuh negara, mata-mata gerakan bersenjata yang ingin merdeka…..”
“ Tapi Kapten, bukankah mereka cuma pemuda kampung biasa.
Layakkah kita menyerangnya?. Lihatlah mereka tadi bersiap untuk sholat
maghrib, dan sekarang sebagian dari mereka sudah menemui ajalnya. Apakah
kita diperintah untuk membunuh rakyat kita sendiri ? “
“ Letnan Bagus, jangan membantah perintah ! Lihat ! anak buah anda
dalam kesulitan..jangan biarkan mereka mati sia-sia !! “, suara sang komandan
agak gusar. Dua perwira pertama ini saling bersitegang. Letnan Bagus tak bisa
melawan nuraninya. Dihadapannya puluhan manusia tak berdosa terancam
nyawanya.
Para pemuda mulai terdesak. Senjata mereka terlalu sederhana untuk
melawan empat regu militer yang bersenjata lengkap. Mereka mulai berhasil
mendekati Tengku Rifai. Beberapa senapan otomatis sudah mengarah tepat ke
arah sang Tengku yang renta itu.
Bagus segera bangkit, meloncat menuju sang korban yang
menyelamatkannya. Raut mukanya mendadak berubah. Panik. Sedih. Wajah
sang korban sangat dikenalnya dengan baik. Ia berteriak dalam kepanikan
yang sangat dalam.
“ Irfaaaaan ?? Tidaaaaaaaaak …….!!!!! “
Tubuh bersimbah darah itu digoncang-goncangkan. Tak ada reaksi.
Nafasnya masih naik turun. Hanya mata sendunya yang selalu menatap Bagus,
sahabat dekatnya. Dalam lirih masih sempat terdengar lantunan terakhirnya.
“ Laa ila ha illa Allah….. muhammadur..rasulullah….”
Semua diam. Panas menyengat. Beberapa polisi berdatangan. Bagus dan
kawanannya hanya terpaku. Tak ada yang bergerak.
Tanah pemakaman masih basah. Raut kesedihan masih terpancar dari
wajah-wajah yang bergerak menjauh. Rimbun pepohonan kamboja tak
mampu menutupi kesedihan Bagus. Ia masih berdiri mematung di sebelah
makam sahabatnya.. Airmatanya masih mengalir pelan.
“ Irfan,..gue malu sama lu. Lu nyelamatin nyawa gue. Mestinya kan gue
yang mati kemaren. Kenapa loe tiba-tiba datang hanya untuk nyetor nyawa ? .
Tapi Fan. Gue gak akan sia-siakan pengorbanan loe. Gue akan teruskan
perjuangan loe. Gue gak akan tawuran lagi… gue akan jadi anak mushola
kayak loe. Gue akan ikuti nasehat-nasehat loe yang dulu gue cuekin terus…. “
Bagus melangkah pulang. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Bayangannya seolah tak mau beranjak dari pemakaman. Hatinya masih terpaut
dengan kematian sahabatnya.
***********************************
Pagi hari yang dingin di lereng gunung Tidar. Kampus Akmil Magelang
masih berselimut kabut. Serombongan Taruna berbaris rapi menuju aula
tempat sarapan pagi. Di hadapan, beberapa Taruna senior bersiap menyambut
penuh kehangatan. Biasa, ada menu pembuka sebelum sarapan pagi.
Alasannya simpel, agar perut kosong terlebih dulu.
“ Kopral Susi ! Jam berapa jadwal lari pagi ? “
“ Siap, jam setengah lima Sersan ! “
“ Berapa menit kamu terlambat ?”
“ Siap, 30 detik, Sersan ! “
“ Kenapa terlambat ? “
“ Siap, saya sholat shubuh dulu, Sersan! “
“ Siapa yang suruh kamu sholat dulu ! “
“ Siap, ini perintah agama, Sersan ! “
Buuuuk !! Sebuah tendangan keras mengenai ulu hati Bagus. Taruna
senior yang biasa dipanggil sersan, selalu sibuk mencari kesalahan para
yuniornya.
Tendangan dan pukulan menjadi bahasa keakraban yang menghias hari-
hari Bagus sebagai Taruna. Entah itu di barak, aula, lapangan, atau bahkan di
tempat mandi sekalipun. Suatu ketika, seorang taruna senior menemukan buku
Bagus tertinggal di balik bantal.
“ Kopral Susi ! ini buku punya siapa ? “
“ Siap, punya saya, Sersan ! “
“ Kamu dari pesantren ya ? “
“ Siap, saya dari SMU, Sersan! “
“ Bapak kamu kyai ya ?”
“ Siap, Bapak saya pedagang, Sersan! “
“ Kenapa baca buku seperti ini ? “
“ Siap, untuk lebih memahami Islam, Sersan! “
Buuuk ! Kali ini sikutan kiri dikirim oleh seniornya. Tepat menghujam
dada kanan Bagus. Ia diam menahan sakit. Hari ini sudah enam belas pukulan
ia terima.
“ Kalau mau belajar agama, masuk IAIN ! jangan jadi Taruna ! Atau kau
mau jadi teroris fundamentalis ? Awas nanti saya laporkan pembina !! “. Sang
senior ngeloyor pergi. Tersenyum sinis penuh kemenangan.
Hari dan bulan terus berganti. Menemani hari-hari Bagus di lereng
gunung Tidar. Mencoba untuk teguh berislam. Meski jadwal pendidikan
Taruna sangat ketat, bahkan terlalu sering berbentrokan dengan waktu sholat.
Semua ia jalani dengan teguh. Betapapun, ia telah memilih sebuah jalan. Meski
ia yakin jalan itu tidak mudah, bahkan bertabur darah, keringat, dan air mata.
Tahun berganti ….
“ Kopral Ahmad ! “, seru Bagus ke arah salah seorang yuniornya.
“ Siap Sersan !”
“ Panggil temanmu satu regu, hari ini kita akan sama-sama bersihkan
masjid !”
“ Serbuuu…ganyang habis anak Budi Perwira !! “, sambut yang lain
hampir berbarengan.
Dalam sekejap suasana berubah menjadi kacau. Jalanan macet, bus-bus
berhenti total. Sebagian yang masih jauh segera memutar mencari jalan lain.
Para penumpang dan pemakai jalan lain mulai berteriak histeris.
Komplotan Bagus segera melabrak beberapa gelintir anak Budi Perwira.
Mereka yang diserang tampak sedikit terkejut. Tapi nampaknya mereka telah
menduga. Berbagai macam senjata mereka keluarkan. Tawuran yang ganas pun
tak terelakkan. Masing-masing mencari lawan. Menghujam dan melempar apa
yang bisa digunakan untuk menyerang.
Praaang !! Buuk ! Croot ! Uuugh !! Serbu ! Pantang Mundur ! Keparat
kau ! demi Hartono ! Mana jagoan loe ! Mati kau !! Buuk ! Ciaaaaat !
Bagus tampak paling bersemangat. Rantai besi di tangannya berkali-kali
menemui korbannya. Beberapa lawannya tampak benjol-benjol menahan sakit.
Tiba-tiba, sebuah tikaman ganas muncul dari arah belakang. Tepat mengarah
ke punggung nya. Bagus masih tak sadar.
“ Matii Kaauuu ! “, seru penyerang misterius itu dengan ganas.
“ Bagus ! Awasssss ….!!! “, seseorang mendorong tubuh Bagus dengan
keras hingga tersungkur. Sayang, justru ia yang menyambut tikaman ganas itu.
Darah segera mengalir deras dari punggungnya. Baju seragamnya memerah
darah
Si penikam tersenyum puas, ia segera berbalik mundur. Teman-
temannya segera mengikuti. Mereka lari menjauh. Meninggalkan satu korban
bersimbah darah.
Ditengah hiruk pikuk rapat, tiba-tiba datang Irfan, sahabat Bagus
semenjak kecil yang juga ketua Rohis di sekolah itu. Irfan menyapa mereka
dengan lembut.
" Wah, pak Haji datang nih… lekomsalam, iya nih kita lagi pada asyik
ngumpul-ngumpul . ", Bagus menyambut ramah sahabatnya.
" Sholat Zhuhur ? emang sekarang jam berapa Fan ? kok kite-kite belum
denger adzan tuh ", Arga ikut menimpali jawaban Bagus.
" Memangnya ada apaan sih ngumpul-ngumpul ? ", tanya Irfan
penasaran. Kini giliran Ronni menjelaskan,
" Ssst.. Kita akan membela harga diri sekolah ini ! siang ini kita akan
menyerang anak Budi Utomo. Ini 100% serangan balasan ! Sudah denger kan
berita tentang Hartono kemarin sore ? Sekarang saatnya memberi mereka
pelajaran !! "
Wajah Irfan sedikit berubah, meski sebenarnya ia tidak terlalu terkejut.
Antara sekolahnya dengan SMU Budi Utomo memang musuh bebuyutan..
" Apa tidak ada cara lain ? Mustinya saat ini kita berpikir bagaimana
membantu Hartono. Kalian tahu sendiri kondisi keluarganya yang miskin kan..
Bagaimana kalau kita kumpulkan dana dari teman-teman dan guru, lalu kita
berikan kepada keluarganya."
Irfan mencoba meyakinkan teman-temannya. Mereka hanya diam
mendengarkan. Tak ada yang menyahut. Segan..
" Bayangkan, berapa biaya perawatan di rumah sakit ? darimana ibunya
mendapatkan uang sebesar itu ? Hartono lebih membutuhkan dana, dari pada
kalian membalas anak Budi Utomo. Lagi pula, bagaimana jika akan ada korban
lagi ? "
Beberapa wajah kembali berpandangan. Mereka kemudian melihat ke
arah Bagus, sang pemimpin komplotan, seolah menunggu keputusan darinya.
Bagus menggeser posisi tubuhnya, lebih mendekat ke arah Irfan. Tangannya
masih terkepal.
" Irfan, usulan lu bagus, dan kite juga tahu kondisi keluarga Hartono.
Kite setuju, dan kite akan kumpulkan dana buat dia. Tapi, ini masalah harga
diri ! Kita harus beri mereka pelajaran.. Jika dibiarkan ! Sekolah kita akan
diremehkan !. Bukan begitu teman-teman ? "
" Betul ! kita tetap menyerang dan juga ngumpulin bantuan.Setujuu ??",
kembali Arga memprovokasi temannya yang lain.
" Setuju… horee..horee…. !!! "
Suasana kembali gaduh. Mereka bersemangat untuk membalas. Irfan
terdiam. Ia tak bisa berkata banyak kali ini. Ia telah berusaha.
***************
Perempatan jalan Patimura di kawasan Blok M memang cukup strategis.
Dari sekolahnya, Bagus dan kawan-kawannya hanya perlu sedikit memutar
lapangan bola untuk sampai kesana. Di perempatan itu, anak-anak SMU Bina
Perwira biasa nongkrong sebelum pulang ke rumah.
“ Serbuu…..!! jangan ragu-ragu, demi Hartono ! “, Terdengar teriakan
komando pembuka dari Bagus. Tangan Bagus terkepal ganas. Matanya melotot tajam. Berita yang baru
saja ia dengar dari teman-teman komplotannya membuat kupingnya memanas.
Mereka berkerumun di pojok kantin sekolahnya..
" Jadi, bagaimana nasib Hartono sekarang ini ? ", tanya Bagus penuh
geram.
" Ia masuk UGD Fatmawati, darahnya banyak keluar. Kemarin sore
bajingan-bajingan dari SMU Budi Utomo mengeroyoknya di halte depan
pasaraya Blok M ", Arga, teman terdekat Hartono, mencoba menjelaskan.
" Keparat ! mengapa mereka menyerang kita kembali ? ", tanya Roni,
anggota komplotan yang juga aktif di PMR.
" Biasa, ada cewek Budi Utomo dipalak sama anak sekolah kita, sehari
sebelum kejadian. Trus, ia lapor sama cowoknya. Akhirnya.. ", Agra
menjelaskan duduk permasalahan menurut versinya.
" Sudah..sudah, cukup ! Siang ini kita harus balas menyerang mereka !
Harga diri kita dan sekolah ini telah diinjak-injak ", Bagus mulai mengomando
dengan geram..
" Betul ! Horeee.. , hidup SMU Bina Perwira !", Teriak mereka dalam
kegaduhan di siang yang sunyi.
" Segera persiapkan semua perlengkapan, sabuk baja, pisau lipat, rantai
besi dan batu beton ! ", kembali Bagus mengomandoi komplotannya.












0 comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.